Selasa, 09 April 2013

AWAL MUNCULNYA PERPECAHAN AQIDAH UMMAT (MASA IFTIRAQ)


AWAL munculnya iftiraq (perpecahan) dalam sejarah Islam bermula setelah Khalifah Utsman bin Affan dibunuh oleh sekelompok pemberontak yang menganggap Utsman tidak  fair (adil) dalam mengambil kebijakan selama menjadi Khalifah. Ketika Ali bin Abi Thalib dilantik sebagai Khalifah untuk menggantikan Utsman, para pemberontak itu hadir dan mengadakan pendekatan kepada Ali dengan maksud mendukungnya, dipelopori oleh al-Gafiqi dari pemberontak Mesir sebagai kelompok terbesar, tapi Ali menolaknya. Namun justru yang mengherankan adalah mereka malah memusuhi Khalifah Ali bin Abi Thalib di kemudian hari.

Perkara ini kemudian menjadi penyebab utama perpecahan saat itu, umat Islam terbagi ke dalam dua kelompok, ada yang pro Ali dan ada yang kontra. Terus berlanjut dan menjadi fitnah besar, yang menyebabkan peperangan demi peperangan terjadi dalam tubuh umat Islam. Tapi yang perlu digaris bawahi bahwa munculnya seabrek tragedi/perpecahan sebelum dan sesudah pembunuhan Utsman, disebabkan masyarakat sudah terjangkit aqidah Saba'iyah (paham yang menimbulkan perpecahan itu) yang merupakan cikal bakal akidah Syi'ah dan Khawarij yang ditaburkan ke tengah-tengah kaum muslimin. Sebenarnya, masalah perpecahan (perselisihan), sudah pernah terjadi di kalangan para sahabat, tapi itu hanya berupa i'tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Justru yang “menghebohkan” kaum muslimin dan membawa finah besar itu adalah aqidah Saba'iyah.

Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, dalam kitabnya Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abu Ihsan Al-Atsari menjelaskan, aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang menyebutnya Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil, dan pemuda-pemuda ingusan. Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama, dan kerajaan mereka telah ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba', membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi'ah dan Khawarij dari mereka. Inilah keyakinan sesat yang pertama kali muncul kalau ditinjau dari kacamata aqidah dan keyakinan.

Adapun kelompok yang pertama kali memisahkan diri dari imam kaum muslimin adalah kelompok Khawarij.

Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari aqidah Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba'iyah. Perlu diketahui bahwa Saba'iyah ini terpecah menjadi dua kelompok utama, Khawarij dan Syi'ah. Kendati antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar pemikirannya sama. Baik Khawarij maupun Syi'ah muncul pada peristiwa fitnah atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan. Fitnah diprakarsai oleh Abdullah bin Saba' lewat ide, keyakinan, dan gerakannya. Dari situlah munculnya aqidah sesat, yaitu aqidah Syi'ah dan KhawarijI.

Perlu dipahami bahwa perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah sebenarnya direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya menabur beragam benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin. Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif, ekstrimisme, radikalisme, dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya itu-itu juga, demikian pula tujuannya. Hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu dama lain saling bermusuhan.

Akhirnya, bagi mereka yang masih dangkal imannya (tidak mendapat langsung bimbingan dari Nabi) pusing tujuh keliling menghadapi situasi saat itu. Mereka bingung, kelompok mana yang akan diikuti, sebab masing-masing membenarkan kelompoknya dan ekstrim, sementara ada pemerintah yang sah dan disetujui oleh kaum muslimin.

Dari sisi lain, kelompok ekstrim penuntut keadilan atas pembunuhan Khalifah Utsman (kelompok yang terjangkiti aqidah Saba'iya) terus mendesak Ali untuk ditindaklanjuti, mereka seenaknya membuat keputusan dan “mengadukan banding” kepada Khalifah.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam termasuk yang tegas menuntut balas atas kematian Utsman, bahkan pada saat Imam Ali mengirimkan surat agar Mu’awiyah mau membaiatnya, dia tetap bersikeras sebelum para pembunuh Utsman ditangkap dan dibunuh. Baju Utsman yang berlumuran darah menjadi senjata utamanya untuk menyemangati pengikutnya agar turut membantu. Kondisi umat Islam pun saat itu sangat kacau-balau dan berada pada puncak tragis yang nyaris membuat sejarah Islam “gulung tikar” dan akhirnya beralih pemerintahan dari Khalifah ke Kerajaan.

Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib harus menanggung kenyataan pahit yang diserahi amanah sebagai pemimpin umat ketika awal munculnya huru-hara itu. Setelah terbunuhnya Ustman, kekerasan di luar Madinah tak pernah berhenti, seperti yang terjadi di Basrah dan Kufa. Sebagian umat Islam pun telah mengalami penyimpangan  dari ajaran agamanya. Pertama, hilangnya toleransi seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan oleh para sahabat dalam melihat perbedaan di luar ajaran aqidah dan syariat. Akhirnya lahir kaum garis keras yang merasa benar sendiri.

Kedua, para pendatang baru dalam Islam banyak yang terdiri dari orang yang belum menghayati ajaran Islam secara utuh dan belum pernah bertemu langsung denga Nabi atau sahabat-sahabat dekatnya. Ketiga, pemahaman mereka tentang agama sangat dangkal dan sempit, sehingga mereka salah memahami al-Qur’an, seperti yang pernah dikatakan Nabi, “mereka membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai pada tulang-tulang selangka mereka.” Akhirnya kerusuhan yang disebabkan perpecahan itu, berakhir dengan terbunuhnya Ali, yang disusul kemudian oleh kedua putranya, Hasan dan Husein dan berpindahnya sistem daulah Islam dari Khalifah menjadi Kerajaan.

Solidaritas para Sahabat

Ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain yang menyebabkan permusuhan. Yang terjadi di antara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma' (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah serta tetap komitment terhadap imam. Itulah yang terjadi di kalangan sahabat. Tidak ada seorang sahabat pun yang memisahkan diri dari jama'ah. Tidak ada satu pun di antara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada perkara baru dalam agama.

Pada zaman Khalifah Abu Bakkar, ketika ada pembangkangan di sebagian daerah Semenanjung dalam hal pembayaran zakat, Abu Bakkar dan sebagian kecil sahabat berpendapat untuk memerangi mereka. Maka diadakanlah rapat dalam rangka membahas masalah ini. Banyak sahabat yang tidak setuju kalau terjadi perang, dengan alasan mereka tidak boleh diperangi karena mereka juga adalah orang-orang yang beriman. Umar termasuk salah satu dalam barisan ini.

Walaupun akhirnya keputusan jatuh pada suara minoritas yang dipelopori Abu Bakkar dengan berkata, “Demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallah akan aku perangi.” Maka terjadilah perang Riddah. Perdebatan ketika itu cukup sengit yang saling berlawanan dan berkepanjangan. Jangan dikira para sahabat hanya manggut-manggut ketika di hadapan pimpinan mereka. Umar bin Khattab membantah pendapat itu dengan keras sampai-sampai mukanya memerah. Tapi itulah sahabat, jiwa mereka sudah terdidik dan selalu menghindari perselisihan. Dengan kondisi yang memanas seperti itu mereka tetap menghargai Abu Bakkar sebagai pemegang tunggal pemerintahan saat itu.

Para sahabat merupakan imam dalam agama yang mesti diteladani oleh kaum muslimin. Tidak satu pun dari kalangan sahabat yang pecah dari jama'ah. Dan tak satu pun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan sumber perpecahan.

Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar. Hanyalah dusta dan kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat. Sangat keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal bakal kaum sufi, Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu, mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal.

Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar  dan Umar bin Khattab, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Jangan dikira para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini.

Jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. [www.hidayatullah.com]

Penulis pemerhari masalah agama, tinggal di Surabaya
 Dinukil oleh : Agi [studi.islam@yahoo.com]
dari Buku (yang terjemahannya) Al-Iftiraq (Perpecahan Umat) Pengertian, Sebab, dan Cara Penanggulangannya hal 30-38; karya Syeikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-'Aql, Penerbit : Pustaka Istiqomah, Solo

Sejarah iftiraq penting untuk diketahui, karena apa yang terjadi pada awal Islam merupakan ibrah (pelajaran/ renungan). Saya (Syaikh Nashir al-Aql, ed.) tidak bisa membicarakan sejarah iftiraq secara terinci, tetapi saya akan berhenti pada beberapa butir yang bisa dijadikan sebagai ibrah. Dan memang perlu ada pelurusan tentang pengertian serta pemahaman beberapa butir sejarah tersebut yang dewasa ini dipahami salah oleh kebanyakan orang.


1. Awal timbulnya aqidah-aqidah iftiraq di tengah umat (aqidah yang menyimpang dari jama'ah) semula hanyalah berbentuk fikrah atau aqidah keji yang samar-samar, yaitu aqidah saba'iyah (akidah Khawarij dan Syi'ah). Itulah yang pertama kali didengar oleh kaum Muslimin, dan didengar oleh para shahabat tentang aqidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan kaum Muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Memang betul, ketika itu ada orang asing yang telah menyerukan benih-benih perpecahan. Tentang namanya orang berbeda pendapat, namun yang terkenal namanya adalah Abdullah bin Saba'. Mulailah dia melancarkan godaan-godaan fitnahnya di kalangan umat Islam, sehingga banyaklah yang memeluk aqidahnya dari kalangan kaum munafiqin, orang-orang yang hampir masuk Islam, orang jahil, para pemuda, dan para pendendam yang menyaksikan Islam tegak di negara mereka, menumbangkan dan merobohkan agama serta kekuasan mereka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka mereka pun mengikuti pernyataan-pernyataan Ibnu Saba'. Begitulah keyakinan yang dilancarkan Ibnu Saba' ini terus berjalan di kalangan umat Islam secara rahasia sampai akhirnya muncul Syi'ah dan Khawarij.
Ini jika dipandang dari sudut sejarah awal munculnya aqidah-aqidah atau pernyataan-pernyataan kelompok-kelompok sesat yang muncul di tengah-tengah kaum Muslimin. Aqidah serta pernyataan yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang meliputi semua perkara aqidah.
Adapun jika dipandang dari firqah yang pertama kali muncul dan melakukan tindakan keluar dari imamah serta jama'ah kaum Muslimin adalah kelompok Khawarij. Khawarij merupakan sempalan Saba'iyah, jadi Khawarij adalah Saba'iyah. Memang ada sebagian orang menganggap Saba'iyah sebagai kelompok tersendiri, sedangkan Khawarij pun merupakan kelompok tersendiri, namun pada hakikatnya Khawarij tumbuh dari tubuh Saba'iyah. Begitu juga Syi'ah tumbuh dari sana. Saba'iyah pecah menjadi dua golongan besar yaitu Khawarij dan Syi'ah, meskipun kemudian ada beberapa perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah, tetapi sebenarnya asal-usul mereka itu satu, semuanya tumbuh dari peristiwa fitnah terhadap Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu sebagai akibat dari apa yang dilancarkan oleh Ibnu Saba' dengan pemikiran-pemikiran, aqidah-aqidah serta


perbuatan-perbuatannya. Dari sanalah munculnya aqidah yang paling keji pada waktu itu yaitu aqidah Khawarij dan Syi'ah.
Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah dibuat sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya untuk memecah belah umat, yakni Abdullah bin Saba' yang menabur benih untuk menghidupkan sekelompok pengikut hawa nafsu, dan menabur benih yang lain untuk menumbuhkan kelompok sesat lainnya. Kemudian antara keduanya dibuat semacam ada permusuhan guna memecah belah umat, seperti yang terjadi dewasa ini, ketika terlihat musuh-musuh Islam mengadu domba umat Islam dengan istilah yang mereka namakan permainan Blok kanan dan Blok kiri. Umat Islam dibagi menjadi berpartai-partai; partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Muncullah permainan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, terbelakang, ekstrim, modernis, dan seterusnya. Semuanya adalah permainan yang sama dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya sama dan tujuannya pun sama, meskipun bentuk dan coraknya berbeda. Jadi semuanya ini mencerminkan kokohnya kebatilan, meskipun mereka saling bertentangan.
2. Adanya masalah penting yang harus diperhatikan. Dalam sejarah iftiraq, para shahabat tidak pernah tertimpa perpecahan sama sekali. Perbedaan pendapat yang terjadi hanyalah perbedaan yang akhirnya dapat diselesaikan baik dengan ijma', atau dengan tunduk kepada pendapat jama'ah, atau dengan komitmen berkumpul di sekitar imam. Itulah yang terjadi di kalangan para shahabat. Tidak pernah terjadi shahabat meninggalkan jama'ah, tidak ada di antara beliau yang mengucapkan kata-kata bid'ah atau mengada-adakan perkara baru dalam agama Islam. Sungguh, para shahabat yang merupakan para Imam agama yang harus diteladani, tidak satu pun dari para shahabat yang meninggalkan jama'ah selama-lamanya. Tak ada satu pun yang pendapatnya menjadi sumber bid'ah atau sumber iftiraq. Adapun orang-orang yang menisbatkan pendapat-pendapat sesat atau menisbatkan golongan sesat kepada shahabat, tentu mereka telah mendustakannya dan menimbuni para shahabat ini dengan cerita bohong. Dengan demikian, sama sekali tidak benar jika Ali dikatakan sumber Syi'ah, Abu Dzar dikatakan sumber sosialisme, ahlush-Shufah (orang-orang yang mensucikan diri) dikatakan sebagai asal-usul kelompok Sufi, Mu'awiyah dikatakan sumber Jabbariyah, Abu Darda dikatakan sumber Qadariyah, dan salah seorang shahabat menjadi sumber pendapat sesat ini atau itu, mengada-ada, bid'ah, atau sikap-sikap aneh lainnya. Akan tetapi semua itu hanya berasal dari kebatilan murni.
Sungguh iftiraq tidak pernah terjadi kecuali setelah terbunuhnya Utsman radhiyallahu 'anhu , bahkan belum ada iftiraq yang nyata di masa beliau. Baru pada masa terjadinya fitnah terhadap Ali radhiyallahu 'anhu, muncullah kelompok Khawarij dan sekelompok Syi'ah. Ada pun di masa dua khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma, bahkan sampai pada masa khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu belum terjadi sama sekali iftiraq yang hakiki. Selanjutnya para shahabat pun melakukan penentangan terhadap iftiraq dan janganlah disangka bahwa para shahabat lalai atau tidak tahu menahu atau mereka tidak waspada menghadapi persoalan iftiraq; baik dalam hal pemikiran, aqidah, sikap maupun perbuatan. Bahkan mereka tegak menentang iftiraq dengan sebaik-baiknya. Mereka telah teruji secara baik dalam sejak terjang menghadapi iftiraq tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti tetap terjadi.
Setelah berbicara tentang sejarah iftiraq, sepantasnyalah kita tahu asal-usul bid'ah atau tahu siapa tokoh-tokoh pencetus golongan sesat yang menimbulkan iftiraq. Yang saya maksud dengan tokoh di sini ialah orang yang berjaya dan menjadi imam-imam sesat sampai hari kiamat. Dan sepeninggal mereka terbukalah pintu iftiraq, sehingga semakin banyaklah orang yang tersesat. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah:
1. Pelopor mereka : Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang mengaku-aku Islam, begitu pula pengikut-pengikut dan kelompoknya berjumlah banyak sekali. Ide-idenya mulai muncul pada tahun 34 H, yang meliputi bid'ah kaum Khawarij dan bid'ah golongan Syi'ah.
2. Setelah itu muncul bid'ah dalam berpendapat mengenai qadar (takdir) pada tahun 64 H. Orang pertama yang menyerukan ide tersebut ialah seorang yang berpengaruh di lingkungannya yaitu Ma'bad al-Juhani -meninggal pada tahun 80 H. Dia telah memunculkan pernyataannya, tetapi bid'ahnya belum sampai berkembang sebagaimana penyimpangan serta bahayanya berkembang di masa-masa sesudah itu.
3. Kemudian datanglah Ghailan ad-Damsyiq (ad-Dimasyqi). Dia mengibarkan pengaruhnya yang besar tentang masalah qadar sebelum tahun 98 H. Juga tentang ta'wil, ta'thil (mengingkari sifat-sifat Allah) dan raja'. Di antara yang menentang Ghailan ialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau yang menegakkan hujjah atasnya, maka Ghailan menghentikan (kegiatannya) sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Setelah itu Ghailan kembali lagi melancarkan bid'ahnya. Inilah ciri-ciri umum bagi ahlul iftiraq dan ahlul ahwa' (pengikut hawa nafsu), artinya mereka tidak mau bertobat. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap menyimpang dan kembali lagi pada kegiatannya. Ghailan dibunuh pada tahun 105 H, setelah dia tidak mau bertobat.
4. Sesudahnya muncullah Al-Ja'd bin Dirham, yang memperluas pendapat-pendapat sesat ini, kemudian memadukan pendapat Qadariyah dengan Mu'athilah (pengikut madzhab yang mengingkari sifat-sifat Allah), dan Mu'awwilah (kaum pena'wil sifat Allah). Kemudian menyebarkan syubhat di tengah-tengah kaum Muslimin, sehingga para ulama salaf memperingatkan dan menghimbaunya agar bertobat, tetapi ia tidak mau. Mereka membantah pendapatnya dan menegakkan hujjah atasnya, tetapi ia tidak mau kembali. Maka setelah semakin banyak orang terkena fitnahnya, mereka menjatuhkan hukuman mati kepada Al-Ja'd sebagai pencegah (tersebarnya) fitnah. Khalid bin Abdullah al-Qasiri membunuhnya sebagaimana termuat dalam kisahnya yang masyhur ketika beliau berkata seusai khutbah 'Idul Adha : “Sembelihlah kurban, semoga Allah menerima sembelihan kurban kalian. Sesungguhnya aku akan menyembelih Ja'd bin Dirham sebagai kurban, karena mendakwa bahwa Allah tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya dan Allah tidak mengajak berbicara langsung kepada Isa alahissalam ... dan seterusnya”. Kemudian beliau turun dari mimbar dan membunuhnya pada tahun 124 H.
5. Setelah itu fitnah sempat padam untuk beberapa lama sampai kemudian muncul Jahm bin Shafwan, yang menghimpun kejahatan serta kesesatan orang-orang terdahulu, dan menambahkannya dengan kesesatan baru. Dari perbuatannya muncul bid'ah Jahmiyah. Bid'ah-bid'ah, pernyataan-pernyataan serta penyelewengan-penyelewengan Jahmiyah, semuanya merupakan kekufuran. Jahm bin Shafwan banyak mengambil pendapat-pendapat Ghailan dan Al-Ja'du kemudian menambahnya dengan ta'thil (penolakan terhadap sifat-sifat Allah), dan al-Jabar (Jabariyah), serta mengingkari istiwa'nya Allah, al-'Uluw dan masalah ru'yah. Jahm bin Shafwan dihukum penggal pada tahun 128 H.
6. Dalam waktu yang bersamaan muncul Washil bin Atha', Amr bin 'Ubaid yang keduanya meletakkan dasar-dasar Mu'tazilah Qadariyah.
Setelah itu terbukalah pintu iftiraq, muncullah kelompok Rafidhah (Syiah) mengumumkan aqidah-aqidahnya dan sekte ini terbagi menjadi beberapa golongan. Muncullah kelompok Musyabbihah dari kalangan Rafidhah di tangan tokoh-tokohnya.; Daud al-Jawaribi, Hisyam bin al-Hakam, dan Hisyam al-Jawaliqi. Mereka itulah peletak dasar Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk) yang pertama, mereka adalah orang-orang Rafidhah. Sesudah itu datang lagi kelompok Mutakallimin (tokoh-tokoh ilmu kalam), lalu kelompok sufi dan ahli-ahli filsafat, maka terbukalah pintu iftiraq dari berbagai celah bagi orang-orang sesat, pembuat bid'ah dan pengikut hawa nafsu. Sehingga tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum Muslimin sampai sekarang ini.
Begitulah
, sehingga di samping perpecahan ynag sudah ada, muncul pula perpecahan yang baru sejalan dengan hawa-hawa nafsu manusia, dan terbiasanya mereka dengan bid'ah-bid'ah dan kesesatan-kesesatan.
Sebagian orang -yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu- menyangka bahwa firqah-firqah tersebut sudah sirna dan sudah menjadi simpanan cerita-cerita bersejarah atau tumpukan warisan masa lalu! Hal ini jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu, masih tetap ada sekarang di tengah-tengah kaum Muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin berbahaya, dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan kelompok-kelompoknya yang batil, serta golongan Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahlul Kalam, Sufi, dan Filsafat (dan semacamnya, ed.), semuanya masih berusaha untuk menohok umat. Bahkan mulai menampakkan leher-lehernya. Aqidah-aqidahnya mulai bergelombang dengan gaya bahasa yang mampu menarik simpati umat satu demi satu, dan setiap waktu berkembang berdasarkan apa yang mereka klaim sebagai 'ilmu pengetahuan, kebudayaan,dan pemikiran', di samping sedikitnya pengetahuan pemuda tentang ad-Dien.

Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai pelindung kita dan Dia sebaik-baik pelindung.